Monday 14 November 2016

Analekta Vol. 01 with Serana42


Akhir bulan Agustus lalu, saya iseng-iseng mengikuti sayembara menulis (sedikit berhadiah) yang diselenggarakan Serana42. Well, I reckon it's safe to say that Serana42 is a newfound local community―plus magazine―which talks about science-fiction. Meskipun saya tidak begitu pede menyusun kisah sains fiksi karena takut logikanya nggak masuk, rasa sayang terhadap menulis membuat saya memutuskan untuk berpartisipasi dan membuat sebuah cerita pendek (yang sebetulnya bisa dilanjutkan jadi panjang) berjudul The Capsules.

Eh.. ternyata masuk sepuluh cerita terbaik. Terima kasih kepada seluruh tim juri yang sedemikian murah hati dalam mengapresiasi tulisan saya. Terharu banget sumpah. Maklumlah, seumur-umur nggak pernah bikin cerita berbau sains karena nilai fisika saya semasa sekolah flop total. Nah, bulan ini, tepatnya tanggal 13 November 2016, Serana42 mengadakan acara gathering perdana bagi para sci-fi enthusiasts yang dinamakan Analekta Vol. 01, dan berlokasi di co-working space Ke:Kini, Cikini, Jakarta.

Penasaran deh sama typeface yang dipakai... kece bener.

Because I'm broke as fuck, jadi akhirnya pada malam sebelum acara saya menyempatkan diri bertapa di hadapan layar laptop untuk menuliskan sepotong cerita yang terdiri dari 500 kata. Sebagai #ShohibulMizqin, apa pun akan saya lakukan demi upaya menghemat ongkos jalan-jalan keluar kosan! Tengah malam cerita selesai disusun. Saya segera ubah formatnya menjadi PDF supaya bisa dimasukkan ke memory card ponsel dan dibaca dari sana. Bagi teman-teman yang ingin membaca kisah pendek yang ditulis secepat kilat tersebut bisa langsung main ke halaman ini.

Saya sengaja tiba di lokasi setengah jam lebih awal karena menghindari hujan yang belakangan kerap mengguyur Jakarta, sekaligus antisipasi nyasar. Maklum anak kuper nggak pernah jalan-jalan. Ternyata Ke:Kini cukup nyempil dan tidak ada papan tanda yang signifikan sehingga saya hampir saja tidak menyadari eksistensinya. Huhuhu. Mirip dengan keberadaan diri saya yang mendekati nihil di mata dia. #SelaluAdaPeluangUntukNumpangCurhat


Baru tahu kalau di Jakarta banyak co-working space macam begini yang bisa disewa.

Dari luar cuma kayak rumah penduduk kan...

Bukan salah saya kalau sempat tidak ngeh. Namun setelah masuk ke dalam, tak disangka ambience-nya terbilang nyaman dan kondusif sebagai ruang kerja atau aktivitas. Desain minimalis tapi sedikit acak dengan jenis-jenis meja dan kursi yang berlainan. Lucu banget. Istilahnya apa ya, sungguh sangat Pinterest-ish. Minuman standar seperti teh dan kopi juga tersedia. Gratis. Kekurangannya cuma bantal dan selimut... dua benda yang ternyata butuh suplai sebab aduh mak AC-nya dingin bener. Gadis dusun macam saya yang kipas angin aja nggak punya (serius ini bukan sekadar dusta) sampai bolak-balik ke toilet tiga kali. Tambah dua kali lagi bakal menyaingi intensitas solat dalam sehari.

Told ya. The room looks pretty good.

Nggak sempat duduk di sofa kuning itu. Sad.

Berhubung di rundown acara ada sub-event nonton film bareng-bareng (alias screening, demi efek yang lebih terdengar sophisticated dan middle-class), maka disiapkan juga layar dan LCD. Jujur, saya jadi teringat masa-masa SMA di mana masing-masing kelas disediakan fasilitas LCD. Dampak laten yang muncul adalah, setiap jam pelajaran kosong, sekelas selalu nonton film bajakan beramai-ramai. Dari Paranormal Activity hingga TwilightOh, those good old days...

LCD yang memicu nostalgia SMA

Selesai pemutaran film, acara dilanjutkan dengan soft-launching Serana42 ditambah penjelasan singkat oleh Kak Bonni Rambatan dan Kak Falissa Putri―yang lebih akrab dipanggil Uti―pakai presentasi PowerPoint pula! Hahaha. Rupanya saya bukan satu-satunya orang yang menyukai desain minimalis color-based putih untuk presentasi. Enak kan dibacanya? Looks clean and sleek. Senang sekali bisa tahu kalau punya kawan satu selera.

Lagi slide transition jadi presentasinya nggak nongol.

Moving on to the Sci-fi Slam. Ada beberapa kisah sci-fi pendek yang dibacakan peserta gathering, salah satunya saya. Urutan pertama pula. Cry. Sepanjang berdiri di hadapan teman-teman yang datang, jari tangan saya yang memegang ponsel gemetaran lho. Gila deg-degan banget. Tapi syukurlah semua berjalan lancar. Lidah juga tidak terbelit. Nggak kesandung juga pas maju ke depan. I was doing a decent job, I guess? Selain saya, mereka yang ikut berbagi karya ada Kak Uti, Kak Kirana, Kak Astri sang pemenang sayembara sebelumnya, Har, Pras, dan Kak Bonni. Sementara itu Kak Adhytia, yang berkaus hijau, sibuk pindah ke sana kemari demi mengabadikan momen. Pengin lihat foto-fotonya deh... bisa nggak ya?

A bit of info reminder: you can take a look at my story here.

Kak Astri membacakan kisahnya tentang Putri dan Rana.

Kak Kirana dan fiksi 100 kata karangannya.

Tapi dari seluruh cerita yang dibacakan, secara pribadi saya paling suka milik Kak Bonni. Didesain sebagai kisah untuk anak-anak, cerpen Kak Bonni manis sekali dan menyenangkan. Terdapat beberapa dialog repetitif khas dongeng sebelum tidur yang membuat ceritanya meninggalkan kesan familiar. Hangat. Baik tema dan pilihan kata juga sederhana. Judulnya pun relatif klise, in an overwhelmingly cute way: "Petualangan Miu di Luar Angkasa", if I am not mistaken. Maaf ya Kak Bonni kalau judulnya keliru. Salahkan saja short-term memory saya.

Kak Bonni menyampaikan petualangan Miu

Hari itu sungguh syahdu. Hujan turun di luar membasahi jalanan. Saya berada di dalam ruangan yang AC-nya dingin ampun-ampunan bersama teman-teman baru, berbagi ide dan cerita-cerita seru. Andaikata Kak Iboy tidak mengingatkan kami soal waktu yang sudah beranjak malam, tampaknya acara bakal berlanjut hingga kebablasan. Setelah berpose bersama untuk foto kenang-kenangan―sayang file-nya cuma Kak Adhyt yang punya gara-gara dia doang yang ngefotoin―saya, Kak Uti, Kak Kirana, Kak Astri, Kak Bonni, Kak Adhyt, Pras, dan Harbowo berbondong-bondong mampir ke kafe terdekat karena perut sudah nge-rap ala Yanglek saking laparnya. After party gitu deh. Kami makan diselingi ngobrol-ngobrol sesi encore, membahas dari mulai superhero hingga persamaan antara Obama-Biden dan Jokowi-Ahok.

Saat semua sudah kenyang dan akhirnya ingat bahwa esok hari adalah Senin, Kak Uti memanggil mbak-mbak pramusaji untuk minta tagihan. Begitu tagihan datang, semua langsung merubung Kak Uti dan lembaran uang berhias gambar palu arit pun segera memenuhi meja di hadapannya. Sungguh after party rasa buka bersama anak sekolahan, dengan Kak Uti sebagai bendahara kelas.

Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam (lebih sekian menit) ketika saya menginjakkan kaki kembali di kamar kosan. Capek, sih, gara-gara terlalu banyak tertawa. Antusiasme menyedot habis energi saya. Tapi hati saya senang sekali. Ditambah lagi, setelah bertahun-tahun merasa seorang diri, batin tersiksa dan merana karena tidak ada rekan geeking over the same stuffs, baru di Analekta Vol. 01 kemarin saya tahu bahwa yang suka baca Animorphs ternyata bukan hanya saya! Huwaaaa.

Nggak sabar ih, nunggu Analekta Vol. 02!

z. d. imama

2 comments:

  1. Aku ngiri, nyatanya dirimu penulis yg berbakat. Detil ceritanya bagus dan bikin penasaran. Ditunggu lho tgl novelnya terbit

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah terima kasih Om :')
      Aaamiiiin, semoga ada yang berkenan ngontak saya buat nerbitin buku huhuhu

      Delete